Social Icons

Pages

Minggu, 27 Oktober 2013

SUMBA DALAM SEJARAH

Sumba merupakan sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara TimurIndonesia.
Pada sebelah barat laut pulau ini terdapat Pulau Sumbawa. Pada sebelah timur laut terletak Pulau Flores. Pada sebelah timur ialah PulauTimor. Pada sebelah selatan dan tenggara adalah benua Australia.
Sebelum dikunjungi bangsa Eropah pada 1522, Sumba dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Pada 1866, Sumba menjadi wilayah Hindia Timur Belanda.
Masyarakat Sumba adalah campuran dari bangsa Melayu (Austronesia) dan Melanesia. 5-10% penduduk Sumba menganut kepercayaana Marapu, dan yang lainnya menganut campuran Marapu dan Kristian. Kaum Islam dalam jumlah kecil dapat ditemukan di sepanjang kawasan pesisir.
http://ms.wikipedia.org



A.    Sekilas asal-usul orang sumba

Berdasarkan cerita-cerita dari generasi ke generasi menyatakan bahwa orang sumba berasal dari Malaka Tana Bara (semenanjung Malaka)  berlayar ke Sumba melalui Hapa riu-Ndua Riu, Hapa Njawa-Ndua Njawa, Rukuhu-Mbali, Ndima –Makaharu, Endi-Ambarai, Enda-Ndau, Haba—Rai Njua dan terakhir mendarat di Haharu Malai Kataka Lindi Watu. Hal ini juga sejalan dengan asal usul bangsa indonesia pada umumnya.
Menurut Wohangara dan Ratoebandjoe dalam Woha (2008:40) menyatakan bahwa: pendaratan para leluhur itu diatur strategi seakan-akan mau melakukan pengepungan terhadap tana Humba sebagai berikut:
a)      Rombongan I mendarat di Haharu Malai Kataka Linndi Watu
b)      Rombongan II mendarat di La Panda Wai Mananga Bokulu.
c)      Rombongan III mendarat di Wula Waijilu-Hongga Hillimata.
d)     Rombongan IV mendarat di Mbajiku Padua Kambata Kundurawa.
B.     Sratifikasi sosial di sumba
Dalam masyarakat sumba ada satu hal yang yang menarik yaitu adanya klasifikasi sosial secara vertikal yang masih bertahan sampai sekarang. Sistem ini dikenal dengan adanya maramba (tuan) dan ata (hamba). Meskipiun zaman semakin modern  sistem ini masih sangat sulit dirubah karena sudah turun temurun. Berdasarkan cerita yang didapatkan bahwa adanya hamba (ata) sudah merupakan perjanjian dan sumpah adat antar suku dan antar kampung.
1.      Lahirnya maramba dan ata
Menurut penuturan yang diturunkan dari generasi ke generasi orang sumba mengakui bahwa leluhur mereka adalah Umbu Walu Mandoku dan Rambu Humba. Dari pasangan inlah yang melahirkan suku-suku yang menetap di Sumba sekarang ini.
Dari cerita tersebut dapat kita ketahui bahwa pada awalnya dalam masyarakat sumba tida dikenal adanya maramba dan ata. Dengan waktu yang terus berjalan penduduk makin banyak. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka harus menyebar mencari tempat yang baru lalu membentuk kampung yang baru pula. Penyebaran inilah yang menyebabkan sering terjadi pertentangan antara kampung dalam memperebutkan lahan atau wilayah yang ingin dikuasai. Akibatnya terjadi perang antar kampung. Perlu dingat bahwa perang antar kampung bukan perang antar suku. Karena dalam satu kampung tidak hanya ada satu suku tetapi lebih dari satu suku.
Pihak yang kalah dalam perang ditawan dan dijadikan hamba (ata) bagi pihak yang menang. Dari sinilah muncul hamba dan klaim sebagai maramba (tuan) dari pihak yang menang. Tidak adanya perlawanan dari ata karena telah disumpah adat. Sekalipun ada yang melawan akan dibunuh baik secara langsung dengan nimbu (tombak) atau kabela (parang) atau secara tidak langsung dengan sebuah ritual (hamaya puhi).
Selain penjelasan di atas ada juga versi lain yang menyatakan lahirnya maramba dan ata di sumba. Apapun versi yang kita dapatkan masih membutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk membuktikan lahirnya maramba dan ata.
2.      Maramba
Maramba (tuan) adalah orang yang memiliki hamba (ata). Maramba mempunya hak prerogatif sehingga apapun yang diperintahkan harus dilakukan oleh ata (hamba).
Dalam masyarakat sumba dikenal sebutan Umbu Nai untuk laki-laki dan Rambu Nai untuk perempuan dan ditambah nama hamba. Misalnya Umbu Nai Kalikit artinya hambanya bernama Kalikit. Sebutan ini berlaku secara umum khususnya di Sumba Timur. Tetapi maramba yang memiliki hamba banyak biasanya memakai sebutan Tamu Umbu tanpa diikuti nama hamba dan umbu saja untuk yang tidak meliliki hamba.
Maramba yang tidak memiliki hamba disebabkan karena hamba adalah milik bersama dengan saudaranya atau tidak mendapatkan jatah hamba dari orang tua (jumlah anak maramba lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anak ata dan biasanya anak terakhir yang tidak mendapatkan jatah kalau hamba kekurangan) atau hamba dari orang tuanya meninggal tanpa mempunyai anak. Akan tetapi, seorang maramba dapat membeli hamba dari kampung lainnya untuk mendapatkan sebutan Umbu Nai.
3.      Ata (hamba)
Sistem hamba in sudah berjalan turun temurun. Artinya jika orang tua mereka adalah hamba dari satu keluarga maramba maka anak-anak atau keturunannya akan tetap menjadi hamba bagi tuan mereka. Para ata sudah terikat dengan adat istiadat dan turun temurun  sehingga tidak memiliki ruang gerak untuk menjadi maramba.
            Perlakuan maramba terhadap ata berbeda-beda. Ada yang memperlakukan hamba dengan baik, ada juga yang memperlakukan dengan semena-mena. Pengabdian para hamba tidak pernah mengenal usia. Mereka bekerja untuk maramba setiap hari sejak masih kecil sampai meninggal. Bahkan dulu ketika tuanya meninggal hambanya pun dikubur bersama baik masih hidup ataupun sudah meninggal. Seiring dengan perkembangan hal itu tidak lagi terjadi.
            Tugas utama hamba (ata) adalah memelihara ternak, mengolah kebun, menyiapkan makanan dan sebagai pembawa kalumbut (tempat sirih pinang untuk laki-laki) atau mbola happa (tempat sirih pinang untuk perempuan). Juga melaksanakan perintah lain dri tuannya. Hasil kerja hamba juga dapat meningkatkan status sosial tuanya. Misalnya, semakin banyak hewan yang dipelihara maka derajat sosial tuanya akan semakin tinggi.
4.      Hamba (ata) dalam sistem perkawinan
Ata (hamba) juga berperan dalam perkawinan orang sumba. Peran hamba sering dikenal dengan istilah ata ngandi (hamba yang dibawa). Ata ngandi adalah seorang perempuan yang ditunjuk oleh maramba untuk menjadi hamba khusus bagi anak perempuanya.  Ata ngandi (hamba yang dibawa) merupakan hamba yang dibawa oleh seorang wanita kalangan maramba (Rambu Nai) ketika dipinang oleh seorang laki-laki dari derajat maramba yang sama. Adanya atau tidak adanya ata ngandi (hamba yang dibawa) menunjukkan status sosial dari istri seorang maramba.
Dari klasifikasi secara vertikal tersebut diatas bertentangan dengan sumber-sumber yang lain yang mengklasifikasikan orang sumba.  Salah satunya adalah http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sumba yang memuat : Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), orang merdeka pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya.
Klasifikasi tersebut sudah sedikit menggeser pengertian maramba yang sesungguhnya yaitu yang memiliki hamba bukan yang menguasai suatu  kampung atau beberapa kampung. Sebelum pejajahan datang suatu kampung tidak ada pemerintahan tunggal tetapi pemerintah secara bersama-sama oleh maramba yang ada di kampung itu. Juga diperjelas oleh  Woha (2008:47) : ternyata pemerintahan Hindia Belanda merubah sistem pemerintahan tradisional ini menjadi sistem pemerintahan ala Eropa yaitu sistem kerajaan, sehingga akhirnya dalam kerajaan itu kekuasaan hanya berada di satu tangan yaitu raja.
Klasifikasi itu juga bisa dibenarkan karena merupakan peninggalan penjajah Belanda. Tetapi dalam pelaksanaan sistem itu tidak semua maramba menerimanya.
C.     Sistem garis keturunan yang di anut suku sumba
Pada orang Sumba nama seorang anak tidak mangikuti nama (fam) dari ayah maupun ibu. Nama secara utuh diambil dari salah satu nama dari keluarga dari ayah atau ibu baik yaitu  kakek atau nenek kandung maupun dari yang lainnya. Sehingga orang Sumba mengenal istilah Boku Tamu atau Apu Tamu. Nama laki-laki berdasarkan Boku Tamu dan perempuan berdasarkan Apu Tamu. Tidak bisa nama anak laki dari Apu Tamu atau sebaliknya. Nama bisa berasal dari suku lain yang masih ada hubungan keluarga. Sehingga nama tidak berpengaruh terhadap suku. Hal senada juga dikatakan oleh Woha (2008:3) bahwa : di Sumba nama orang sama sekali bukan identitas kabihu.
Dalam perkembangannya sekarang sudah bisa mengambil nama depan atau belakang dari ayah sebagai fam dari anak. Tetapi sistem pemberian nama seperti diatas tidak sepenuhnya hilang. Anak bisa memiliki dua nama. Nama dengan fam ayah digunakan sebagai nama formal atau nama yang digunakan saat pembaptisan dan penulisan ijazah. Sedangkan nama lahir dari boku tamu (laki-laki) atau apu tamu (perempuan) tetap digunakan sebagai nama panggilan untuk dirumah.
Landasan dikatan bahwa suku sumba menganut patrilineal atau garis keturunan ayah  adalah ketika seorang anak hendak diketahui asal usulnya yang ditanyakan adalah siapa nama ayah atau kakeknya bukan siapa nama ibu atau neneknya.


DAFTAR PUSTAKA

Woha,U.P.2008. Sejarah Pemerintahan diPulau Sumba. Undana press. Kupang.

Wulla Poddu

WULLA Poddu berasal dari kata wulla yang berarti bulan dan poddu yang berarti pahit. Jadisecara harafiah Wulla Poddu berarti bulan pahit, disebut pahit karena sepanjang bulan ituada sejumlah larangan yang harus dipatuhi dan serangkaian ritual yang harus dijalankan.Intinya Wulla Poddu adalah bulan suci.Banyak ritual digelar selama Wulla Poddu yang berlangsung antara bulan Oktober-November setiap tahun. Ada yang bertujuan memohon berkat, ada yang sebagaisarana mengucap syukur, ada yang bercerita tentang asal usul nenek moyang dan adapula yang menggambarkan proses penciptaan manusia. Hampir semua wilayah di SumbaBarat merayakan ritual ini. Di wilayah Lamboya kegiatan berpusat di kampung Sodan danKadengar, di Wanokaka berpusat di kampung Kadoku, di Tana Righu berpusat di kampung
Ombarade, tapi yang terbesar dari semuanya ada di wilayah Loli. Hampir semuakampung adat utama di wilayah ini merayakan Wulla Poddu, dengan Tambera, Tarung,
Bondo Maroto dan Gollu selaku kampungkampung
sentra ritual.

Di sepanjang bulan ini banyak orang berburu babi hutan. Hasil buruan diserahkan
kepada Rato sambil melantunkan tanya jawab dalam bentuk pantun adat (kajalla).
Babi hutan yang pertama kali ditangkap biasanya menjadi indikator hasil panen. Babi
jantan berarti hasil panen bakal memuaskan, babi betina yang sedang bunting menandakan
hasil panen kurang baik, sementara jika babinya menggigit orang berarti bakalan ada
hama tikus. Di bulan ini pula para pemuda yang telah akil balik menjalani proses sunatan,
dan selama beberapa hari diasingkan ke alam liar untuk hidup mandiri sebagai tandakedewasaan.

Kronologi Ritual
Wulla Poddu diawali dengan semedhi para rato marapu untuk menentukan masa bulan suci. Dan seperti umumnya terjadi pada masyarakat tradisional mana pun penentuan masa ini tidak berdasarkan kalender masehi, tapi berdasarkan perhitungan yang mengacu pada gejala alam dan benda langit, terutama bulan. Jenis dan waktu penyelenggaraan ritual pun tidak selalu sama antara kampung yang satu dengan kampung lainnya. Berikut ini adalah tahapan ritual Wulla Poddu yang dilaksanakan di Kampung Tambera, sebuah kampung tua di sebelah Utara Waikabubak.




1. Deke Ana Kaleku

Merupakan ritual pertama bulan suci yang ditandai dengan kedatangan rato dari kampung Geila Koko yang bertugas sebagai pembaca bulan. Rato ini datang untuk menyerahkan kaleku, semacam clutch bag tradisional Sumba berisi sirih dan pinang (dua jenis buah yang selalu digunakan dalam ritual pemujaan) dan dengan itu Wulla Poddu pun
dimaklumkan.





2. Tubba Ruta (cabut rumput):

Ritual ini berlangsung di sebuah gua kecil tak jauh dari kampung. Gua tersebut sangat disakralkan karena di dalamnya tersimpan sebuah guci keramat bernama Dinga Leba yang merupakan objek utama pemujaan untuk mandapatkan berkat marapu. Seperti namanya, ritual tubba ruta merupakan kegiatan bersih-bersih. Areal sekitar gua dipagari dan dibersihkan, begitu juga dengan Dinga Leba. selesai dibersihkan guci tersebut diisi air yang bersumber dari mata air suci. Nanti, pada ritual selanjutnya yang berlangsung beberapa minggu kemudian, air ini akan diperiksa lagi dan dijadikan media meramal hasil panen. Tubba rutta berlangsung pada malam hari dibawah pimpinan Rato Uma Lede. Setelah kegiatan selesai sang rato pulang ke rumah dan melanjutkan pemujaan hingga dini hari (pakaleku baga).


3. Kaleisuna
Ritual ini dilaksanakan sore hari setelah tubba ruta, berupa penyampaian undangan oleh rato yang berperan sebagai Ina-Ama kepada rato-rato lain yang bermukim di kampung Tambera untuk mengikuti acara Tauna Marapu.







4. Tauna Marapu

Merupakan forum musyawarah para rato untuk membicarakan persiapan pelaksanaan Wulla Poddu. Pada kesempatan ini dilakukan upacara pemujaan (noba) dengan menyembelih sejumlah ayam milik kabisu-kabisu yang terlibat. Usus masing-masing ayam diperiksa, jika bentuknya bagus maka kabisu yang bersangkutan akan mendapat panen yang bagus pula, tapi jika sebaliknya berarti panennya bermasalah sehingga kabisu tersebut perlu mempersiapkan diri dengan bekerja lebih giat. Tauna Marapu biasanya selalu diikuti dengan ritual Padedalana atau
pengumuman pelaksanaan Wulla Poddu yang diteriakkan secara berantai dari rumah ke rumah, agar para warga segera mempersiapkan diri menyambut bulan suci.


5. Pogo mawo
Ritual pemotongan pohon pelindung dari jenis tertentu yang harus memiliki delapan tumpuk ranting. Pohon ini agak susah dicari, biasanya di hutan-hutan yang ada di sekitar kampung. Setelah ditemukan, harus dipotong saat itu juga lalu digotong ke kampung untuk ditanam di dekat Natara Poddu. Pohon ini dipercaya akan memberi perlindungan dan kemakmuran bagi warga selama satu tahun penuh (hingga wulla poddu berikutnya). Karena ditanam tanpa akar pohon ini tentu akan mengering dan daun-daunnya bakal berguguran. Proses alamiah yang biasa saja tapi bagi warga kampung dipandang sebagai suatu indikasi. Bagi mereka, daun yang gugur sebelum waktunya adalah pertanda kemakmuran yang berumur pendek. Di kampung Tambera, ritual Pogo Mawo selalu dibarengi
pertandingan gasing antara kabisu Anawara melawan kabisu Wee Lowo yang hasil akhirnya dipandang sebagai indikasi juga. Jika pemenangnya kabisu Anawara maka daerah sekitar Loli dipercaya bakal menikmati panen melimpah, jika sebaliknya maka kelimpahan panen akan menjangkau area yang lebih luas.

6. Mu’u Luwa
Mu’u luwa yang artinya makan ubi, merupakan forum musyawarah kedua untuk memutuskan apakah ritual-ritual Wulla Poddu berikutnya akan dilaksanakan di dalam rumah (kabu kuta) ataukah di halaman. Disebut mu’u luwa karena pada kesempatan inisemua peserta membawa ubi dari rumah masing-masing lalu dimakan bersama di Uma
Rato, tempat musyawarah dilangsungkan. Mereka juga memberikan persembahan kepada roh-roh leluhur agar Wulla Poddu tahun itu berjalan dengan lancar.




7. Toba Wanno

Toba Wanno berarti bersih kampung dan seperti namanya, ritual ini bertujuan membersihkan kampung dan warganya dari penguasaan roh-roh jahat. Toba wanno diawali dengan pendirian lada talla, kerangka bambu tempat menggantung seperangkat gong sakral, lalu dilanjutkan dengan pemukulan Ubbu, sebuah tambur keramat yang hanya dibunyikan setahun sekali. Menurut warga setempat bagian atas tambur aslinya terbuat dari kulit manusia, namun karena telah rusak dimakan usia maka sekarang ini diganti dengan kulit kerbau persembahan. Tidak seperti tambur-tambur lain, seluruh sisi Ubbu diselubungi dengan kain. Pemukulan Ubbu merupakan tanda mulai berlakunya laranganlarangan di bulan suci. Toba Wanno adalah sebuah ritual yang mengesankan. Semua rangkaian upacara dilakukan pada malam hari dalam suasana gelap gulita. Pada malam itu tak boleh ada cahaya sedikit pun. Dalam gelap yang pekat semua warga keluar dari rumah masingmasing dengan membawa sebuah wadah terbuat dari tempurung kelapa. Wadah -wadah ini, yang berisi abu dapur simbol roh-roh jahat, diletakkan di suatu tempat di luar gerbang kampung lalu semua warga bergiliran melemparinya dengan tongkat kayu yang telah diberi tanda. Keesokan harinya, para warga kembali ke tempat itu untuk memeriksa hasil lemparan masing-masing. Jika ada yang tepat sasaran maka si pelempar dipercaya bakal berhasil memburu babi hutan.

8. Woleka Lakawa (Nyanyian Bocah):
Ritual yang satu ini juga dilaksanakan di malam hari tanpa penerangan, dimana sejumlah anak-anak berkumpul di natara podu lalu bernyanyi bersama diiringi alunan gong. Woleka Lakawa berlangsung setiap malam hingga tiba ritual selanjutnya.

9. Rega Kulla (Sambut Tamu):
Sesui namanya Rega Kulla merupakan ritual penyambutan tamu adat yang terdiri dari serombongan rato dari kampung Bondo Maroto. Para kulla datang ke kampung Tambera yang berjarak sekitar 10km dengan menunggang kuda, dan konon katanya disertai anjing- anjing Marapu yang tak kasat mata. Mereka akan tinggal selama tiga hari dan selama waktu itu melakukan perkunjungan ke kampung-kampung sekitar, lalu mengikuti perayaan di gua suci. Tujuan inti dari kedatangan mereka memang untuk mengambil simbol berkat di gua tersebut. Di masa silam, rato-rato Tarung turut menjadi kulla di Tambera. Namun akibat perselisihan yang terjadi pada tahun 1970an mereka tidak lagi ikut serta dan mengambil berkat ditempat tersendiri.


10. Dudiki Ina Roma

Merupakan ritual perkunjungan yang dilakukan oleh rato-rato Bondo Maroto selama berdiam di Tambera. Pada hari pertama mereka berkunjung ke kampung Rate Wana, Watu Bela, Prai Gege dan Lete Ki’i. Di hari kedua mereka berkunjung ke kampung Geila Koko.


11. Sangga kulla:

Inti ritual ini (dan sebetulnya merupakan inti perayaan Wulla Poddu) adalah pengambilan berkat di gua suci. Sekitar jam tiga sore, rato-rato Tambera, kulla Bondo Maroto dan seluruh warga kampung berangkat menuju gua suci. Tapi hanya para rato yang diijinkan masuk ke dalam gua, dan hanya dua diantara mereka yaitu Rato Rumata dan Rato Wee Nogo yang boleh mendekati Dinga Leba (guci keramat). Mereka melakukan pemujaan, memberikan persembahan dan memeriksa air dalam guci keramat. Jika air suci yang telah isi beberapa waktu sebelumnya tetap penuh, berarti hasil panen bakal melimpah, jika tinggal sedikit berarti hasil panen tidak begitu bagus. Setelah pemujaan selesai, Rato Rumata menyerahkan kawuku (simbol berkat dalam wujud simpul tali) kepada ratorato Bondo Maroto. Dan begitu berkat diterima, para Kulla itu segera mengambil kuda-kuda mereka dan bergegas pulang, tidak boleh menoleh ke belakang sampai tiba di kampung. Kepulangan mereka disambut meriah dengan perayaan dan tari-tarian yang berlangsung sepanjang malam. Di Kampung Tambera juga ada perayaan besar yang disebut Wolla Kawuku, dimeriahkan dengan tarian, nyanyian serta wara (pitutur adat tentang asal usul nenek moyang). 
Perayaan ditutup menjelang dini hari, saat Rato Rumata turun ke natara podu, berkeliling arena sambil menyanyikan lagu Dingu Manu diiringi alat musik tradisional yang disebut katuba. Beberapa orang wanita, masing-masing memegang satu ekor ayam (manu), beriringan dibelakangnya sambil menari.

12. Wolla Karua (perayaan beras suci)
Inti perayaan ini adalah menumbuk beras suci (bai wesa karua) yang berlangsung di setiap rumah adat. Padi ditumbuk dalam lesung yang tertutup kain, oleh dua sampai lima orang pria berbusana adat lengkap. Beras yang telah ditumbuk sebagian dibawa ke Uma Rato untuk dimasak beramai-ramai saat penutupan Wollu Poddu kelak. Wolla Karua dirayakan selama tiga malam dan dimeriahkan dengan wara dan tari-tarian.

13. Wolla Wesa Kapai
Ada dua kegiatan inti yang dilaksanakan pada kesempatan ini yaitu Pogo Weri: pemotongan daun kelapa muda yang berfungsi sebagai simbol atau tanda larangan (weri), dan Oke Wee Maringi: pengambilan air suci. Baik weri maupun air suci ini untuk sementara waktu disimpan di uma rato, keduanya baru akan digunakan pada puncak perayaan Wulla Poddu yang disebut Kalango. Weri nantinya akan dipasang di bina tama (pintu masuk) dan bina lousu (pintu keluar) sementara air suci akan dipercikkan kepada seluruh peserta upacara sebagai tanda pemberkatan.

14. Mana’a/ Massusara Male
Mana’a artinya memasak sedangkan Massura berarti ............. Konsep dasar perayaan ini adalah pulang kampung, dimana semua anggota kabisu berbondong-bondong pulang kampung untuk ikut merayakan puncaka acara Wulla Poddu (kalango) yang akan berlangsung esok harinya. Masing-masing membawa satu ekor ayam untuk dipersembahkan kepada Ama Wolu Ama Rawi sebagai ungkapan syukur dan mohon perlindungun. Ada beberapa ritual penting dalam perayaan ini, antara lain: Mamulla: ritual berkumur dengan air suci yang dilakukan semua warga di rumah maing-masing sebagai simbol pembersihan diri dari segala dosa dan kesalahan. Dengi Wini: prosesi pengambilan beras suci dari rumah-rumah yang berperan dalam wulla poddu. Dengi Wini adalah ritual yang sakral dan hening. Hanya segelintir rato yang diperbolehkan hadir sementara seluruh warga harus mengunci diri di rumah masing-masing. Tidak boleh ada suara, bahkan anjingpun diungsikan ke luar kampung agar tidak berisik. prosesi yang berpusat di natara poddu dan Uma Rato ini dimulai dengan pemukulan gong suci, diikuti tarian dua pemuda tanggung yang bertugas sebagai pengumpul beras (boga dima). Selanjutnya, dengan membawa kaweda (simbol marapu) dan wadah beras mereka menuju ke beberapa buah rumah yang akan diambil berasnya. Mereka tetap melangkah dalam gerak tari mengikuti irama gong ditengah kampung yang kosong dan hening. Setelah beras diambil, mereka kembali ke Uma Rato, menyimpan beras di tempat yang telah disediakan, lalu mengulangi prosesi yang sama di rumah berikutnya, satu demi satu hingga selesai. Baru setelah itu warga diijinkan keluar rumah dan acara kumpul-kumpul pun dimulai. Hiruk pikuk perayaan berpusat di Uma Rato. di sini berlangsung ritual Ana Kuku, lomba makan nasi antara dua kelompok anak-anak, kabisu Anawara vs. kabisu Wee Lowo.

15. Kalango Lado
Kalango Lado merupakan puncak perayaan wulla poddu yang berlansung dari pagi
hingga pagi berikutnya. Perayaan dimulai dini hari dengan pementasan tarian di natara
podu. Lalu pada jam tujuh pagi sebagian Rato Tambera berangkat ke kampung-kampung
sekitar untuk menghadiri upacara penutupan wulla poddu di kampung-kampung tersebut.
Rato Rumata menuju Geila Koko. Rato Wee Lowo menuju Rate Wana. Rato Anawara dan Rato Tadeila Goro menuju Prai Gege. Sebagian rato yang lain tetap tinggal untuk mempersipakan para penari yang akan memeriahkan acara puncak. Sekitar jam 12 siang, Rato Wee Nogo yang berperan sebagai Koda Laiya Bili (leluhur pertama yang datang dari seberang) memasuki natara podu. Ia memakai kostum kulit kayu, wajahnya berlumur jelaga dan menunggang kuda kepang bernama Dara Wala Gole yang dianggap sebagai simbol kendaraan leluhur mereka saat mengembara mencari hunian. Koda Laiya berkeliling kampung meminta derma pada orang-orang. Tak lama kemudian para Rato kembali ke kampung, disambut musik dan tari-tarian. Sekitar jam tiga sore rombongan rato dari Geila Koko, Rate Wana, Watu Bolo dan Prai Gege tiba di Tambera. Keempat rato ini wajib hadir untuk berpartisipasi dalam ritual paana yang akan digelar tengah malam nanti. Selanjutnya giliran Rato Tadeila Goro yang dijemput memasuki arena upacara. Dengan tongkat keramat tergenggam ditangan, sang rato naik ke atas batu kubur yang pada saat itu difungsikan sebagai podium lalu melantunkan syair-syair berisi penegasan perjanjian antar kabisu sekaligus mengumumkan dimulainya kalango lado. Lalu giliran Rato Rumata membawakan Wara di natara podu.

Sang rato memasuk arena upacara dengan segala atribut kebesarannya diringi para penari pria maupun wanita. Selesai wara, acara berlanjut dengan tari-tarian. Jam 20.00, giliran Rato Sugu Bedu yang dijemput ke halaman suci untuk melaksanakan ritual weri bina, yaitu pemasangan weri dikedua gerbang kampung, Begitu weri terpasang tak seorangpun diperbolehkan keluar kampung hingga kalango berakhir. Selanjutnya Rato Rumata kembali mengambil peran, kali ini untuk memercikkan air suci ke seluruh peserta upacara sebagai tanda keberkatan. Selepas tengah malam digelar ritual Paana yang merupakan inti perayaan Kalango di kampung Tambera. Paana yang secara harafiah berarti melahirkan adalah sebuah ritual suci yang bercerita tentang proses pencipataan dan kelahiran manusia. Ritual ini melibatkan 12 kabisu yang masing-masing diwakili oleh satu orang Rato. 10 orang rato membentuk lingkaran di tengah natara poddu. Satu orang berdiri di dalam lingkaran dan seorang lagi di luar lingkaran. 

Sepanjang prosesi, Rato yang berdiri di luar akan berkeliling lingkaran sambil mengajukan pertanyaan-pertanyan dalam syair adat yang harus dijawab oleh Rato dalam lingkaran. Pertanyaan diajukan secara bertahap. Tiap tahap
ditandai dengan gerakan tubuh yang dilakukan serempak oleh semua rato yang membentuk lingkaran. Gerakan tahap yang satu dan lainnya selalu berbeda-beda dan masingmasing berupa gambaran penyatuan seksual yang berakar dari sebuah legenda tentang Kamuri, seorang perempuan yang kisah hidupnya menjadi cikal bakal pelaksanaan Wulla Poddu. Menurut legenda tersebut manusia pertama diciptakan oleh Mawolo - Marawi (Zat Tertinggi) dari tetesan air dalam botol yang menetes dan menyatu dengan air yang berada di piring ceper (Bu'bu Gusi - Lala Piaga). Sepasang manusia pertama bernama Lamura Winne dan Lamura Mane ini mengembara di bumi dan pada saatnya mulai berpikir bagaimana caranya untuk berkembang biak. Karena tidak tahu bagaimana tepatnya berhubungan seksual mereka mulai bereksperimen. Pertama-tama dengan berpegangan tangan tetapi ternyata yang lahir adalah seekor tekukur dan seekor ayam. 

Beulangkali mereka mencoba pada area tubuh yang berebedabeda, dan baru pada usaha kedelapan mereka melakukannya dengan benar hingga lahir seorang bayi perempuan yang dinamai Kamuri. Eksperimen-eksperimen inilah yang mendasari tiap tahap gerakan dalam ritual Paana. Ritual Paana biasanya berakhir menjelang fajar diikuti pemukulan tambur suci, yang kali ini sebagai pertanda di mulainya Dappa Deke Oma yaitu larangan berkebun selama tiga hari. Selepas 3 hari, dilakukan pemujaan di gua suci (Wotti Kalowo) sebagai ungkapan syukur atas penyertaan Marapu selama wulla poddu, juga di sawah dan di ladang. Selanjutnya semua berkumpul di natara podu untuk menggelar ritual terakhir yang disebut Padinaka Nga'a Bisa, memasak beras suci yang pada ritual sebelumnya telah disimpan di uma rato. Esok harinya para rato mengumandangkan "Yemmo !? satu kata yang menandakan berakhirnya Wulla Poddu. Perayaan wulla poddu di kampungkampung lain pada intinya sama dengan kampung Tambera, namun dalam versi yang lebih pendek dan sedikit variasi ritual.

Selasa, 15 Oktober 2013

Tradisi Pasola



Tradisi Pasola adalah sejenis permainan “perang-perangan” ala Sumba, secara tradisi adat Sumba bagi penganut kepercayaan lokal Marapu disebut Pasola. Pasola adalah permainan “perang-perangan” antardua kelompok “pasukan” berkuda yang berbeda dan saling berhadapan satu sama lainnya dengan saling melempar lembing yang ujungnya tumpul (baca: tidak lancip/runcing!) atau “tombak kayu” di area padang savana. Setiap kelompok terdiri lebih dari antara 100-200 orang pemuda “bersenjatakan” tombak tumpul yang dibuat dari kayu - berdiameter kurang lebih 1,5 cm. Lembing demi lembing dilempar ke arah lawan dengan tujuan agar terkucur darah lawan, pertanda demi kemakmuran tanah. Yang kena lempar tak boleh marah atau dendam. Suasana saling baku lempar lembing dalam Pasola, sambil diiringi pekikan kuda dan sorak-sorai penonton, dan … woow … kegembiraan menggema saat lembing mengenai sasaran di bagian tubuh lawan. Secara etimologis (asal kata), kata “Pasola” berasal dari kata “sola” atau “hola“, maknanya sebuah “tombak kayu” atau “lembing“. Setelah mendapat imbuhan “pa” menjadi paduan kata”pasola” atau “pahola“, yang berarti (sejenis) permainan uji ketangkasan dengan cara menggunakan dan melemparkan lembing ke arah depan atau lawan yang saling berhadap-hadapan antar muka. Hingga sekarang pelaksanaan tradisi Pasola tetap berlangsung dalam agenda tahunan, dan menjadi festival guna promosi pariwisata, yang oleh Pemerintah Kabupaten setempat, yakni Pemkab Sumba Barat untuk Pasola di Lamboya, Wanukaka, dan Gaura. Sedangkan di Kabupaten Sumba Barat Daya, di kawasan Kodi ada lima tempat: Homba Kalayo, Bondo Kawango, Rara Winyo, Waiha, dan Wainyapu. Bulan sama, antara Februari - Maret.

Bermula dari kisah janda Rabu Kaba dan jejaka Teda Gaiparona 



Berdasarkan referensi secukupnya tentang Pasola dan latar belakangnya yang saya peroleh dan kemudian diolah dari berbagai sumber, dapat disarikan berikut ini. Pasola merupakan tradisi unik, dan hanya ada di tanah Sumba. Pasola sebelum menjadi tradisi tahunan sampai dengan sekarang, bermula dari kisah asmara sang janda cantik jelita, Rabu Kaba. Dia adalah istri sah dari Umbu Dula. Suami Rabu Kaba, Umbu Dula adalah tokoh pimpinan warga Waiwuang. Kepemimpinan kampung Waiwuang dipegang bersama oleh Umbu Dula dan dua saudaranya bernama Ngongo Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Dikisahkan, tiga orang pimpinan kampung Waiwuang itu bermaksud pergi melaut, kemudian berpamitan kepada warganya di kampung Waiwuang. Kemudian, ternyata dalam melaut itu, arah kepergiannya mengarah ke daerah selatan Pantai Sumba Timur yang bermaksud mengambil padi. Kepergian Umbu Dula dan dua saudaranya itu sangat ditunggu kepulangannya oleh seluruh warga Waiwuang, namun seiring berlalunya waktu, toh mereka tidak kembali pulang kampung. Akhirnya, sebagian warga Waiwuang berusaha mencari tempat keberadaan mereka, tapi hasilnya nihil, keberadaan mereka tidak dikethui pasti. Sekembalinya dari upaya pencarian tersebut, akhirnya segenap warga Waiwuang bersepakat untuk mengadakan upacara ritual perkabungan, dan menganggap Umbu Dula dan dua saudaranya itu telah meninggal dunia. Dan, istri sah Umbu Dula, Rabu Kaba beroleh status janda. Singkat cerita, Rabu Kaba sang janda cantik itu ternyata (secara diam-diam) menjalin cinta asmara dengan Teda Gaiparona, seorang pemuda tampan dari Kampung Kodi (sekarang termasuk Sumba Barat Daya). Menurut ketentuan adat setempat, percintaan janda dan pemuda lajang itu dilarang, namun akhirnya janda Rabu Kaba dan jejaka Teda Gaiparona sepakat melakukan kawin lari. Rabu Kaba dibawa lari oleh Teda Gaiparona menuju ke kampungya, di Kodi. Siapa sangka kemudian?, ternyata setelah kejadian kawin lari itu, datang pulang ke kampung Waiwuang si Umbu Dula dan dua saudaranya Ngongo Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Umbu Dula diberitahu kabar bahwa Rabu Kaba telah dibawa (kawin) lari oleh Teda Gaiparona dari kampung Kodi. Kemarahan Umbu Dula dan dua saudaranya serta segenap warga kampung Waiwuang menjadikan perselisihan antarkampung, Waiwuang dan Kodi. Umbu Dula sebagai suami Rabu Kaba, yang didukung oleh dua saudaranya bersama segenap warga kampung Waiwuang berusaha meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona yang telah melarikan Rabu Kaba. Akhirnya, kesepakatan bersama pun terjadi, bahwa Teda Gaiparona harus mengganti dengan belis (mas kawin, mahar) untuk keluarga Rabu Kaba dari pihak keluarga Umbu Dulla. Setelah semua belis dipenuhi oleh Teda Gaiparona dan diserahkan, barulah pernikahan secara adat dapat dilaksanakan. Seusai perhelatan pernikahan tersebut, Teda Gaiparona berpesan agar warga melaksanakan ritual Pasola. Maksudnya, dengan cara ritual Pasola tersebut, dikemudian hari ini sangat diharapkan dendam antara kampung Waiwuang dan kampung Kodi dapat dilepaskan (baca: semacam ritual penebusan) dengan permainan “perang-perangan” dan adu ketangkasan melempar lembing dari atas kuda, yang hingga sekarang dikenal sebagai tradisi Pasola! Tradisi Pasola pada hakikatnya merupakan bagian dari ritual kepercayaan Marapu, yang bagi para penganut kepercayaannya bersendikan pada elemen alam terpenting, yaitu demi menjaga keharmonisan antara manusia (yang masih hidup di dunia kini) dengan leluhur atau nenek moyangnya. Inti kepercayaan Marapu, bahwa arwah nenek moyang sebagai leluhurnya adalah pembawa kesuburan dan kemakmuran bagi mereka. Maka, tradisi Pasola, dengan permainan “perang-perangan” dan uji ketangkasan antara dua kelompok “pasukan” berkuda yang berbeda dan saling berhadapan (vis a vis) satu sama lain sebagai “lawan tanding”. Lazimnya, tradisi Pasola diselenggarakan sebagai puncak seremoni adat yang disebut “Nyale“, yakni upacara ritual adat untuk memohon restu para dewa dan arwah nenek moyang sebagai leluhurnya, dengan maksud agar (hasil) panen pada tahun tersebut berhasil dengan baik. rato-nyale-pasola-albert-usadaUniknya lagi, waktu penyelenggaraan dan penentuan hari “H” dalam tradisi Pasola tersebut sangat bergantung pada hitungan para Rato, yaitu semacam tua-tua atau tetua adat, yang bagi mereka para penganut kepercayaan Marapu, berwenang menafsirkan berbagai tanda-tanda alam dalam dimensi makrokosmos, termasuk tafsir terhadap siklus peredaran bulan (yang mengelilingi planet bumi). Perhitungan dan hasil tafsir para Rato tersebut, konon tidak pernah meleset, alias selalu tepat perhitungannya. Mau bukti? Yach … ternyata pada setiap hari pelaksanaan Pasola, di tepian pantai kawasan bagian selatan Sumba Barat biasanya terdapat banyak nyale (cacing laut) sebagai tanda dimulainya permainan Pasola. Dalam kalender Masehi, Pasola diselenggarakan antara bulan Februari - Maret di beberapa tempat di Kabupaten Sumba Barat (Lamboya, Wanukaka, dan Gaura). Terdengar derap-derap kaki kuda berikut ringkiannya yang bergemuruh dan menggema di arena tanah lapang Pasola, serta sorak-sorai penonton maupun di dua kelompok yang saling berhadapan tersebut. Dalam video tadi jelas terdengar suasana gemuruh ini. Juga pekikan “payau” para penonton perempuan dari dua kelompok masing-masing yang bermaksud memberi semangat juang kepada para “ksatria” berkudanya, harapannya agar lemparan lembingnya tepat mengenai sasaran di bagian tubuh lawan tandingnya. Meskipun tongkat dalam permainan Pasola tetap dibiarkan tumpul, tak jarang permainan ini melukai para pesertanya, bahkan bisa memakan korban jiwa. Darah yang mengucur di arena Pasola dianggap bermanfaat bagi kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Sementara apabila terdapat korban jiwa, maka korban tersebut dianggap mendapat hukuman dari para dewa karena telah melakukan suatu pelanggaran. Para peserta yang terkena lembingjika memungkinkandapat membalasnya di arena ini. Akan tetapi jika pertandingan telah usai, sementara peserta masih penasaran untuk membalas terjangan tongkat lawan, maka ia harus bersabar untuk menunggu Pasola pada tahun berikutnya. Sebab, dalam Pasola tidak dibenarkan untuk mendendam, apalagi melakukan pembalasan di luar arena Pasola. Dan … tentu saja, untuk “membalas” ya musti tunggu satu tahun kemudian di ajang tradisi yang sama.


Pelaksanaan Pasola sendiri sebetulnya merupakan bagian dari ritual kepercayaan Marapu (kepercayaan lokal masyarakat Sumba). Dalam kepercayaan Marapu, elemen (makrokosmos) terpenting adalah menjaga keharmonisan antara manusia dengan nenek moyangnya. Mereka percaya, arwah nenek moyang sebagai leluhurnya adalah pembawa kesuburan dan kemakmuran bagi mereka. Nah, permainan Pasola biasanya diadakan sebagai puncak dari Pesta Adat Nyale, yaitu upacara adat untuk memohon restu para dewa dan arwah nenek moyang agar panen tahun tersebut berhasil dengan baik. Pelaksanaan menjelang tradisi Pasola tersebut, dengan pesta adat “Nyale” diawali pada malam hari yaitu pada hari malam “H-1″ diawali dengan pencarian Nyale (sejenis cacing laut) pada malam sebelum pelaksanaan Pasola. Banyaknya Nyale yang dikumpulkan dipercaya sebagai pertanda panen berhasil. Sebaliknya, apabila hanya sedikit cacing yang tertangkap, maka panen kemungkinan (bisa) gagal. Misalnya, ada tanda-tanda tertentu, seperti menangkap (hanya) tujuh ekor nyale saja yang harus diambil, tanda-tanda nyale di tujuh ekor ini saling berbeda, jika berwarna belang, pertanda bisa panen atau kemungkinan tidak bisa panen. Pelaksanaan Nyale merupakan saat penting yang dapat menentukan hasil panenan mereka satu tahun berikutnya.


Waktu penyelenggaraan Pasola sangat bergantung pada hitungan para tetua adat (Rato) yang menafsirkan berbagai tanda-tanda alam, termasuk peredaran bulan. Perhitungan para Rato ini konon tidak pernah meleset. Buktinya, setiap hari pelaksanaan Pasola, di tepi pantai biasanya terdapat banyak nyale (cacing laut) sebagai tanda dimulainya permainan Pasola. Dalam kalender Masehi, Pasola diadakan antara bulan Februari hingga Maret di beberapa tempat di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Lamboya, Wanukaka. Sedangkan di Sumba Barat Daya, di lima tempat pelaksanaan tradisi Pasola.
 

Sample text

Sample Text

Sample Text